Dipenghujung masa kampanye Pilkada Serentak NTB Tahun 2018, para pasangan calon kepala daerah dan wakilnya akan bersiap memasuki tahapan masa tenang. Masa tenang sendiri telah ditetapkan oleh KPU dalam Pilkada Serentak NTB tahun 2018 adalah selama 3 (tiga) hari sejak tanggal 24 sampai dengan 26 Juni 2018. Masa tenang dapat diartikan sebagai waktu dimana para kandidat pasangan calon, tim sukses, atau pihak lainnya dilarang melakukan kampanye baik secara terbuka maupun secara tertutup guna menjaring dan mempengaruhi pemilih.
Ketenangan dalam masa tenang harus dijaga semua pihak. Masa tenang 3 hari nanti tidak bisa dianggap enteng oleh aparat keamanan, KPU, dan Bawaslu, serta masyarakat. Hal ini dikarenakan masa tenang justru masa paling rawan. Disebut rawan karena masa tenang paling mepet dengan hari pemungutan suara. Pertaruhan menang-kalah ada di masa tenang, sehingga pada banyak kasus para kandidat dan timsesnya berupaya menghimpun dukungan pemilih dengan melakukan kampanye terselubung. Kampanye terselubung di masa tenang bisa terjadi dengan menggunakan berbagai cara dan beragam metode, mulai dari pertemuan langsung tatap muka, di media sosial, penyebaran berita benar atau bohong sangat terjadi dan potensi akan meningkat.
Menurut catatan dan analisa penulis setidaknya terdapat 5 (lima) potensi kecurangan yang kemungkinan akan terjadi pada saat masa tenang dalam Pilkada, diantaranya adalah Pertama, adanya alat peraga yang sengaja dibiarkan atau bahkan dengan sengaja disebar pada saat masa tenang untuk mempengaruhi calon pemilih dalam pilkada. Hal ini tentu akan menimbulkan kecemburuan antar calon yang satu dengan yang lainnya. Selain itu juga akan menimbulkan potensi saling tuduh-menuduh antar pendukung pasangan calon yang satu dengan yang lainnya.
Kedua, adanya potensi upaya intimidasi atau pemaksaan terhadap calon pemilih agar dapat memilih dengan cara mengarahkan suara pemilih terhadap pasangan calon tertentu. Intimidasi dan pemaksaan ini berpotensi tidak hanya dilakukan oleh tim sukses pasangan calon tertentu, akan tetapi juga dapat dilakukan oleh aparat/pejabat setempat yang berkuasa ataupun oleh penyelenggara pemilihan yang ada di sekitar masing-masing RT atau RW setempat, sehingga dengan adanya intimidasi dan pemaksaan tersebut akan berujung pada terjadinya kecurangan dalam Pilkada.
Ketiga, potensi fitnah atau berita yang tidak benar (pemberitaan bohong) dan tidak dapat dipertanggung jawabkan (HOAX).Dengan perkembangan dan kemajuan teknologi seperti sekarang ini, berita hoax dengan sangat mudah sekali dikembangkan atau disebar. Melalui media-media sosial yang ada seperti facebook, twitter, whatsapp serta media sosial lainnya seseorang dapat dengan mudah melakukan penyebaran berita HOAX pada saat masa tenang dalam Pilkada Serentak.
Keempat, adanya potensi bahan dan logistik pilkada yang dibuat bermasalah. Hal ini sangat sering terjadi pada saat sebelum atau pada saat masa tenang pelaksanaan pilkada didaerah-daerah, sebagai contoh misalnya petugas pemilihan dengan sengaja tidak memberikan undangan pemilihan kepada calon pemilih, atau dengan sengaja mengacak calon pemilih dengan cara memberikan undangan pemilih yang secara geografis jarak antara rumah calon pemilih dengan TPS sangat berjauhan, serta dengan motif kecurangan lainnya seperti surat suara dan logistik pilkada tidak sesuai atau belum siap, bisa dikarenakan rusak atau kurang sehingga dapat mengganggu calon pemilih yang akan melakukan pemilihan.
Kelima adalah politik uang. Dalam tensi perebutan suara pemilih yang cukup tinggi, proses politik transaksional baik pemberian uang atau barang dalam banyak modus bisa terjadi. Semakin mendekati hari pemungutan, cara mempengaruhi pilihan masyarakat semakin beragam. Cara paling primitif dalam mempengaruhi pemilih adalah dengan cara memberi uang dan atau barang untuk mempengaruhi pilihan masyarakat. Semakin tinggi tensi persaingan, maka praktik transaksional semakin kuat. Adapun yang disasar melalui praktik tersebut adalah masyarakat yang belum menentukan pilihan atau swing voters.
Potensi kecurangan maupun pelanggaran diatas ini juga sejalan dengan pemetaan kerawanan masa tenang yang dilakukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI. Ketua Bawaslu RI, Abhan mengungkapkan bahwa pada masa tenang, biasanya masih ada bentuk-bentuk kegiatan kampanye. Kemudian, untuk potensi yang kedua terkait pelanggaran adanya dugaan money politik atau politik uang dari Paslon atau tim kampanye kepada masyarakat yang memilih. Selain itu, potensi pelanggaran selanjutnya adalah penggunaan media sosial yang bisa saja digunakan pada masa tenang untuk melakukan ujaran kebencian, HOAX, politisasi SARA atau black campaign.
Dengan sejumlah potensi kecurangan dan pelanggara pada masa tenang tersebut, Pilkada yang terselenggara setiap 5 tahunnya ini cenderung menjadi sarana pertandingan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Untuk mengantisipasi masalah tersebut perlu adanya peran masyarakat, tidak hanya terbatas pada peran aparat keamanan, KPU ataupun Bawaslu. Secara hakekat demokrasi, pengawasan juga seharusnya dilakukan oleh masyarakat selaku pelaku utama Pemilu dan pemilik kedaulatan tertinggi dalam Negara. Apalagi mengingat luasnya Provinsi NTB dimana terdapat 10 Kabupaten/Kota, 116 Kecamatan dan 1.141 Desa/Kelurahan yang tersebar di dua pulau terbesar yakni Pulau Lombok dan Sumbawa. Selain itu sikap masyarakat yang tidak terhanyut oleh manuver politik yang provokatif selama masa tenang akan mampu menjaga marwah Pilkada Serentak NTB tahun yang berintegritas.
Selain itu juga diharapkan baik pasangan calon dan tim sukses pasangan calon dapat menahan diri terhadap perbuatan-perbuatan yang akan menciptakan kegaduhan dalam Pilkada serentak. Kita menginginkan tim sukses menyetop upaya kampanye terselubung, apalagi upaya untuk melakukan kecurangan. Sebaiknya paslon dan timses lebih fokus untuk meyakinkan kepada masyarakat untuk mau datang ke tempat pemungutan suara pada 27 Juni mendatang. Tidak hanya itu, para paslon dan timses juga dapat bersinergi dengan aparat keamanan dan penyelenggara untuk bersama-sama secara aktif mengawasi dan melaporkan segala bentuk kecurangan dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak NTB tahun 2018. Sehingga Pilkada Serentak yang akan dilaksanakan merupakan bagian dari salah satu cara untuk menentukan pemimpin masa depan daerah sesuai dengan yang dicita-citakan.
Disamping itu diharap juga kepada Bawaslu bersama aparat harus ekstra waspada untuk memastikan jangan sampai ada celah sekecil apa pun yang bisa dimanfaatkan pihak-pihak tertentu. Upaya menggunakan fasilitas-fasilitas publik seperti tempat ibadah, tempat hiburan, hingga pemanfaatan kegiatan masyarkat di ruang publik untuk kampanye terselubung haruslah dituntaskan Bawaslu bersama penegak hukum. Penulis meyakini bahwa publik menginginkan masa tenang yang kondusif untuk merenungkan pilihan mereka tanpa adanya kampanye terselubung. Namun jika fenomena kampanye terselubung masih terjadi pada masa tenang Pilkada kali ini, maka jangan salahkan jika masa tenang justru menjadi masa gaduh. (**)
Oleh : S. Wardhana
(Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Hukum Unram)