Menjelang Pemilihan Presiden Republik Indonesia pada 17 April 2019 mendatang, tidak dapat dipungkiri masyarakat kita saat ini telah terbelah menjadi dua kelompok besar yang mengakibatkan merebaknya sikap-sikap intoleransi, hate speech dan menguatnya kampanye identitas berlatar belakang agama di negara yang kita cintai ini. Sebut saja #2019GantiPresiden, #2019TetapJokowi, #2019PrabowoPresiden dan #2019Jokowi2Periode yang selalu menjadi tranding topic baik di media sosial maupun di media cetak dan elektronik. Tidak jarang dua kelompok yang berseberangan tersebut terlibat ketegangan dan menjadi tontonan yang kurang elok dipandang bagi sebagian besar masyarakat kita yang menghendaki Indonesia ini menjadi negara yang aman , damai, penuh toleransi dan kasih sayang antara satu dengan yang lainnya.
Kita Harus Tetap Bersatu
Ketegangan yang terjadi karena perbedaan dukungan politik menjelang Pemilihan Presiden Republik Indonesia 2019 tersebut telah menyebabkan suasana persaudaran dan persatuan bangsa ini terganggu bahkan mulai terkotak-kotak berdasarkan pilihan politik dan sebagian lagi karena orientasi agama. Kondisi ini tentunya sangat berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa ditengah maraknya proxy war yang saat ini disadarai atau tidak disadari sedang terjadi. Sebagai contoh, konflik di negara timur tengah yang berkepanjangan, sebenarnya tidak terjadi dalam waktu sehari namun konflik tersebut merupakan akumulasi dari ketegangan-ketegangan berbasis politik bercampur dengan sentimen berlandaskan agama sehingga pecah menjadi perang saudara yang hingga saat ini belum bisa dipastikan kapan berakhirnya.
Tidak bisa dibayangkan apabila Indonesia akhirnya terpecah hanya karena perbedaan politik belaka sementara kehidupan kita di negara yang damai dan aman ini sangat diinginkan oleh masyarakat di timur tengah yang setiap harinya bergelut dengan desingan peluru dan dentuman meriam. Tentunya kita harus tersadar bahwa, dibalik ketegangan politik di Indonesia saat ini, sesungguhnya ada tangan-tangan asing yang sedang berusaha memainkan agendanya untuk mendorong bangsa ini ke jurang perpecahan dan disintegarasi.
Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, bangsa ini harus kembali bersatu meskipun dalam pilihan politik ada perbedaan namun pasca Pilpres 2019, bangsa ini harus memiliki konsensus untuk kembali bersatu karena dengan adanya rasa kesatuan, bangsa Indonesia akan menjadi kuat dan bebas dari ancaman dari luat negeri maupun dalam negeri. Karena dengan bersatu, bangsa ini tidak mudah diadu domba, tidak dijajah lagi oleh negara lain secara fisik. Karena dengan bersatu kita bisa hidup rukun, saling tolong menolong, saling monghormati, menghargai satu dengan yang lain. Karena dengan bersatu, prinsip Bhineka Tungga Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu telah terlaksana dengan sebaik-baiknya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2019 Dan Seterusnya Kita Harus Tetap Bersaudara
Sebagai bangsa yang besar dengan mayoritas warga negaranya beragama muslim. Bangsa Indonesia harus menjadi contoh bagi negara-negara dunia dan Muslim khususnya dalam berdemokrasi. Demokrasi harus dipahami sebagai prinsip yang menghormati kebebasan individu dan kelompok dalam hal apapun selama tidak melanggar, mencederai dan mengancam hak dan kebebasan individu dan kelompok lain. Seperti halnya disampaikan oleh seorang ahli politik Perancis, Montesqiueu yang pernah mengatakan bahwa kebebasan seseorang harus selalu memerhatikan batas-batas penghargaan terhadap orang lain dan senantiasa mengindahkan nilai-nilai dan norma-norma kesusilaan, hukum negara, dan adat istiadat yang berlaku. Maka dari itu, apabila kebebasan dalam berpendapat yang disampaikan ternyata menyinggung harga diri orang lain, norma, adat istiadat dan hukum negara apalagi sampai membuat ketegangan dengan kelompok masyarakat lain maka itu bukan lah kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab dan sudah tidak bisa lagi dikatakan sebagai kebebasan berpendapat.
Dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan bangsa ini, mari secara bersama-sama kita dukung gerakan persaudaraan dalam bentuk tagar #2019KitaTetapBersaudara sebagai jalan tengah atau solusi terbaik dalam perang tagar #2019GantiPresiden vs #2019TetapJokowi. Pada dasarnya perang tagar tersebut tidak perlu terjadi karena siapapun yang akan menjadi presiden sudah ada mekanisme yang diatur dalam peraturan perundng-undangan. Kita hanya tinggal datang ke bilik suara untuk memberikan suara kepada calon presiden pilihan kita dan menunggu KPU mengumumkan presiden terpilih. Seandainya presiden pilihan kita tidak terpilih maka tidak perlu berkecil hati dan kecewa karena setiap presiden yang terpilih memiliki niatan yang sama yakni menjadikan negara Indonesia sebagai negara yang maju dan mensejahterakan masyarakatnya tanpa memandang suku, agama dan golongan.
Pada akhirnya, seluruh elemen bangsa, tanpa memandang ras, suku, partai, ormas harus dan wajib menghalau serta menolak setiap ujaran kebencian, rekayasa kebencian berbasis agama maupun rekayasa kebencian dalam bentuk apapun untuk kepentingan politik yang mengancam persaudaraan dan persatuan bangsa dan negara. Elit politik juga harus sadar untuk tidak memanfaatkan kelompok dan gerakan apapun yang mengancam keutuhan NKRI demi kepentingan politik sesaat. Sebab persaudaraan sesama anak bangsa dan kemaslahatan Indonesia harus menjadi dasar pikiran dan perbuatan yang disepakati oleh seluruh warga negara dalam kompetisi politik apapun baik ditingkat lokal dan nasional. Hal ini sudah ditunjukan oleh pemimpin nasional kita, pada momen selebrasi laga final pencak silat Asian Game 2018 beberapa waktu lalu, Presiden RI Joko Widodo, Prabowo Subianto dan pesilat putra Hanifan Yudani Kusumah berpelukan yang membuat kita tersadar bahwa tokoh yang kita dukung sangat menjunjung tinggi persatuan dan persaudaraan. Maka dari itu tidak ada alasan bagi kita di akar rumput untuk meneruskan perdebatan dalam parang tagar. Mari kita lupakan perbedaan dan bersatu dalam persaudaraan tidak hanya menjelang Pilpres 2019 nanti namun juga hingga bertahun-tahun berikutnya sehingga Indonesia tetap menjadi negara kesatuan yang besar dan menjadi panutan bagi setiap negara di dunia.
Penulis : Aryo Bimo M.Si (Alumnus Pasca Sarjana Kajian Ketahanan Nasional Universitas Indonesia)