Taliwang, – Rekonstruksi dan rehabilitas pembangunan pasca gempa akan lebih cepat, jika pemerintah pusat menyetujui pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS). Ketegasan itu disampaikan H Fahri Hamzah, selaku wakil ketua DPR-RI saat berkunjung ke Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), beberapa waktu lalu.
Menurut Fahri, dalam kondisi pasca bencana seperti saat ini, khusus untuk Pulau Sumbawa ada jarak administratif yang cukup jauh, sehingga proses rekovery untuk permukiman warga di pulau Sumbawa tidak bisa cepat. “Kita butuh keberanian pemerintah pusat untuk menetapkan PPS sebagai provinsi tersendiri, apalagi ada pertimbangan yang menjadi dasar, yaitu rekovery pasca gempa,” lanjutnya.
Fahri mendesak agar pemerintah, khususnya Presiden Jokowi untuk berani melakukan trobosan untuk membantu masyarakat Nusa Tenggara Barat yang memang pada kenyataannya banyak sekali kelemahannya, baik dari segi IPM, mapun pembangunan infrastruktur di Pulau Sumbawa yang masih jauh tertinggal.
Dengan segala keterbatasan yang ada saat ini, Ia memandang Pulau Sumbawa membutuhkan Pemerintah yang mandiri. ia mencontohkan Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) yang saat ini telah menjelma menjadi kabupaten yang cukup maju. Padahal tidak Ia mengaku tidak pernah membayangkan KSB bisa maju seperti sekarang jika tidak menjadi kabupaten mandiri sendiri.
Begitu pula jika pemerintah pusat ingin Pulau Sumbawa lebih cepat maju, infrastruktur memadai, kemajuan biidang ekonomi, sosial dan lain-lain, maka Pemerintah harus memberi ruang bagi otonomi. Apalagi sudah 17 tahun berbagai komponen memperjuangkan Provinsi Pulau Sumbawa untuk terbentuk dan belum tercapai hingga sekarang. “Kalau presiden mau memperpendek jarak administrasi sebaiknya beliau menyetujui proposal yang sudah hampir diketok palunya pada periode DPR yang lalu, yaitu pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa. Sekaligus saja, karena dengan itu akan memperpendek jarak administrasi kita. Karena kita tahu kondisi ketersediaan infrastruktur dasar di Pulau Sumbawa yang masih belum memadai, dibandingkan dengan Pulau Lombok,” urainya.
Fahri juga mengusulkan agar metode penanggulangan bencana yang lebih terpusat, seperti pola yang diterapkan di Aceh dan Jogjakarta, yakni pola penanganan yang menyebabkan pemerintah pusat lebih aktif. Karena yang menjadi korban bencana di NTB, tidak hanya masyarakat, tetapi juga para pejabat. “Sehingga kalau pejabatnya terlalu banyak diajak mikir bisa tidak jalan ini barang. Bisa bisa keliru lagi. Lagi banyak persoalan, suruh tandatangan surat, suruh tandatangan cek, keliru lagi nanti. Bisa kena kasus kita semua nanti, dianggap menggelapkan dana Bansos lah segala macam. Padahal kita melakukannya dalam keadaan trauma juga. Karena itu saya mengusulkan agar ada kelembagaan yang lebih terpusat,” jelasnya.
Selain itu, mengusulkan agar proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa di NTB, tidak memakai barang dan sumberdaya dari luar sepenuhnya. Pemerintah mesti mengajak masyarakat setempat, menggunakan sumber daya dan tenaga yang mereka punya agar menjadi bagian dari Kebangkitan NTB. “Sebab dengan cara itu kehidupan bisa berlanjut. Orang bisa mendapat pemasukan dari rekonstruksi dan rehabilitasi. Jangan masyarakat menjadi penonton. Penyelesaian secara konfrehensif persoalan yang terjadi pasca bencana,” tandasnya. **