Oleh : Dody Fallahudin (Pemerhati Sosial Politik NTB)
Pilkada Serentak NTB 2018 saat ini sudah memasuki tahapan kampanye dengan waktu kampanye yang cukup lama yakni dari 15 Februari hingga 23 Juni 2018. Panjangnya rentang wakut kampanye tersebut telah memberikan banyak ruang bagi paslon peserta Pilkada untuk memperkenalkan dirinya beserta program-program kerjanya kepada masyarakat agar dapat menjadi pilihan pada saat pemungutan suara 27 Juni 2018 mendatang. Dalam tahapan kampanye paslon diberikan kebebasan untuk melakukan pendekatan kepada masyarakat namun tetap harus berpatokan pada kaidah-kaidah yang telah ditetapkan sebelumnya. Bawaslu pun telah mengeluarkan sejumlah aturan main agar kampanye Pilkada sesuai dalam koridornya. Mengacu kepada Undang-Undang No 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada dan Peraturan KPU No 4 Tahun 2017 Tentang Kampanye Pilkada, terdapat 24 larangan yang tidak diperbolehkan selama kampanye Pilkada 2018. Di antara larangan tersebut adalah penghinaan terhadap seseorang berdasarkan, agama, suku, ras, dan golongan. Setiap Paslon juga dilarang untuk menghasut, memfitnah, dan mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat.
Mengacu pada peraturan tersebut para paslon dan elit politik harus terlebih dahulu memahami peraturan dalam berkampanye sehingga ketika menyampaikan materi kampanye tetap berpegang teguh dalam koridor aturan yang sudah ditetapkan oleh undang-undang. Dengan mengedepankan kampanye yang cerdas tanpa penggunaan kalimat SARA dan ujaran kebencian, masyarakat akan semakin tertarik dengan kualitas dari paslon dan bukan karena ajakan serta argumen yang menjatuhkan paslon lainnya. Masyarakat pun akan semakin tercerahkan dan menerima secara positif demokrasi yang saat ini tengah menghadapi kegalauan karena banyak pemimpin yang dihasilkan dari sistem demokrasi cenderung mengecewakan masyarakat.
NTB sebagai salah satu wilayah yang mayoritas penduduknya adalah muslim dengan paslon yang umumnya beragama Islam, patut untuk diantisipasi adanya pemanfaatan masjid oleh tim maupun pasangan calon untuk berkampanye atau melakukan kegiatan politik lainnya. Sebab masjid adalah tempat ibadah dan dinilai kurang pantas untuk digunakan sebagai tempat berpolitik. Meskipun dari kacamata politik masjid merupakan salah satu tempat strategis dalam menggalang dan mengumpulkan massa namun menggunakan masjid sebagai arena politik dinilai sudah tidak sesuai dengan fungsi masjid sebagai tempat ibadah .
Dapat dibayangkan bila hari ini sebuah elit atau partai politik melaksanakan kampanye di sebuah masjid. Maka sudah dapat dipastikan, elit politik lainakan melakukan hal serupa di kemudian hari, dengan membawa simpatisannya yang muslim secara beramai-ramai ke dalam masjid. Selain menggangu esensi dari ibadah itu sendiri, kegiatan berpolitik di masjid justru dapat memecah umat Islam sendiri dan menciptakan suasana tidak kondusif di masyarakat mengingat adanya perbedaan aspirasi di kalangan umat Islam. Tidak menutup kemungkinan pula, para simpatisan akan saling bergesekan di tempat yang disakralkan tersebut. Bahkan, jika terus dibiarkan, kondisi tersebut akan memicu munculnya masjid-masjid yang berdasarkan partai peserta pemilu. Lebih parahnya lagi, isu tersebut akan menggiring pada kekhawatiran munculnya isu sensitif lain yakni larangan pemilihan non Muslim sebagai pemimpin politik sehingga dapat menimbulkan perang tafsir ayat Al-Qur’an dan hadits yang tidak berujung.
Ketidaksetujuan penggunaan masjid sebagai tempat berpolitik telah diutarakan oleh Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Mahdi. Dalam pidatonya di Islamic Center NTB pada 16 Februari 2018, TGB mengingatkan para peserta Pilkada yang berkompetisi untuk tidak menggunakan tempat ibadah sebagai sarana kampanye. TGB juga menghimbau para calon legislatif untuk memanfaatkan ruang-ruang kampanye yang telah disediakan seperti melalui media sosial dan bertemu langsung dengan masyarakat. Menurutnya, Paslon yang tetap nekat menggunakan masjid sebagai tempat kampanye akan menemui sejumlah resikonya, seperti tercatat sebagai pelanggaran oleh Bawaslu. Terakhir, TGB menghimbau kepada seluruh masyarakat untuk menjaga masjid agar terbebas dari nuansa Pilkada maupun aktivitas politik lainnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu untuk tetapmempertahankan masjid sebagai tempat ibadah yang sakral dari syahwat politik untuk berkuasa.Kita sebagai masyarakat juga diharapkan untuk cerdas dan bijak menggunakan masjid sebagai sarana untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT dan menciptakan persatuan diantara ummat, bukan justru memecah belah ummat.