Maluk, – Budi Haryanto mengklaim dirinya sangat berhak terhadap barang bekas (Scrap), hasil pelelangan PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang kini menjadi PT. Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT), namun sampai saat ini pihaknya belum bisa mengangkut seluruh material besi tersebut lantaran dipersulit pihak perusahaan.
“Saya sebagai pihak pembeli atau pemenang tender pelelangan scrap merasa bingung dengan sikap perusahaan yang masih mempersulit proses pengangkutan sisa material besi tersebut, sementara sudah dibayar lunas sejak tahun 2015 lalu sesuai penetapan dalam pelelangan atau sebesar Rp. 7,8 miliar lebih,” kata Budi Haryanto, kemarin.
Disampaikan, jika pihaknya memiliki hak atas barang bekas setelah bekerjasama dengan PT. Sinar Tubalong Mandiri (PT STM) selaku perusahaan lokal untuk membeli scrap dengan jenis grinding ball bekas, general scrap, kabel bekas, conveyor belt bekas, tertuang dalam kontrak nomor SA 1503/001 pada tanggal 1 Desember 2015. Terdapat klausul tambahan bahwa batas akhir kesepakatan itu tanggal 30 Juli 2017. “Meskipun PT. NNT diakuisisi PT. AMNT maka perjanjian harus tetap berlaku,” lanjutnya.
Masih penjelasan Budi, pihaknya mendapatkan scrap perusahaan sebanyak 7 ribu ton dengan harga Rp 1.100 per kilogram, sehingga total yang telah dibayarkan sebesar Rp 7,8 miliar lebih. “Setelah dilunasi langsung dilakukan pengangkutan tahap awal ditahun 2016 sebanyak 4,553 ton dengan harga barang Rp 5,1 miliar, jadi sekarang masih tersisa sebanyak 2,446 ton dengan nilai Rp 2,7 miliar lebih yang akan diangkut, namun dirinya justru mendapat surat dari managemen perusahaan yang terkesan menghalangi pengangkutan tahap kedua tersebut,” terangnya.
Dirinya telah melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan haknya, namun justru mendapatkan tawaran berbeda dari perusahaan melalui email tertanggal 14 Mei 2018, dimana diberikan opsi. Pertama, PT. AMNT menawarkan uang Rp 2,7 miliar kembali dengan utuh plus bunga deposito per tahun dan Opsi kedua, sisa barang bekas yang belum diangkut sebanyak 2,4 ton tetap bisa diambil dengan syarat, pihak PT. STM bisa menunjukkan dokumen yang diperlukan untuk pengangkutan seperti Izin Pemuatan Barang (IPB). “Isi email itu memastikan bahwa perusahaan memang mempersulit kami sebagai pemilik hak atas scrap,” sesalnya, sambil menambahkan bahwa PT. STM sebagai rekanan diberi batas waktu sampai 28 Mei untuk menyatakan sikap. Jika tidak ada respon, maka dianggap memilih opsi pertama atau uang dikembalikan.
Meskipun sudah membaca surat dari pihak perusahaan, pihaknya tetap mengirim kapal untuk angkut barang bekas tersebut dan telah menyandar di Pelabuhan Benete. Namun sampai dengan tanggal 10 November 2018 atau setelah 12 hari parkir, upayanya mengangkut barang bekas yang jadi haknya belum bisa terealisasi juga, bahkan pihaknya mendapat penghadangan dari security perusahaan. “Kedatangan kapal pengangkut dapat menjadi jawaban bahwa kami tidak memilih opsi apapun selain mengangkut material,” timpalnya.
Diakhir keterangannya disampaikan bahwa pihak perusahaan tidak serius untuk melakukan pembicaraan dalam menyelesaikan persoalan, meskipun telah menawarkan dua opsi. Buktinya, penyerahan sisa barang bekas maupun dalam bentuk pengembalian uang belum juga dilakukan. Atas kesemua kendala itu dirinya rugi secara moril dan materiil. “Saya harus menanggung rugi sewa kapal Rp 490 juta, belum harus membayar maintenance dan ABK. Belum lagi harus sewa sandar Rp 25 juta per hari,” ungkapnya. **